Monday 4 July 2011

Saya, Anda, dan Randy

Kasus yang dialami oleh Randy dan Dian membuat saya jadi berpikir betapa kita ini sebenarnya sangat rapuh dan rentan sekali terekspos terhadap pelanggaran atas hukum atau peraturan yang kita tidak tahu atau mengerti. Yang membuat saya merasa “senasib” adalah bukan karena saya satu almamater dengan Randy ataupun Dian (karena memang kenyataannya tidak), bukan karena mereka itu saudara saya, dan pastinya bukan karena saya juga menjual barang yang dijual oleh mereka. Tapi lebih kepada karena profil background saya dan mereka itu kalau dilihat tidak jauh berbeda. Pegawai kantoran yang sudah berumah tangga (kebetulan Randy satu kantor dengan saya). Mungkin sama juga dengan anda. Mungkin juga kita sama – sama pernah mengeluh terhadap macetnya ibukota di jam – jam pulang kantor. Mungkin kita juga sama – sama pernah merasakan nikmatnya bonus THR yang kita terima atas status kita sebagai seorang pegawai. Mungkin kita juga sama – sama selalu merasakan bahagianya ketika gajian.

Persamaan – persamaan itulah yang justru membuat saya khawatir, karena kemudian muncul dipikiran saya, “Bisa saja nanti sewaktu – waktu subjeknya adalah saya, di kejadian yang berbeda”.

Bisa saja sewaktu waktu anda sedang asyiknya berkendara sambil berponsel atau ber – messenger ria tiba – tiba anda dihentikan oleh pengatur lalu lintas, tertangkap tangan, lalu anda dikenakan  UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dimana, hukumannya maksimal 3 bulan penjara atau denda  sebanyak – banyaknya 750 ribu. Syukur – syukur kalau tinggal bayar, kalau wajib lapor? Kalau harus “kooperatif” selama wajib lapor? Kalau tarif “kooperatif” nya dinaikkan? Kalau anda tidak mau memenuhi kenaikan tarif “kooperatif” tersebut dan harus menginap 3 bulan di hotel prodeo?

Betul memang, hukum dibuat agar tercipta keteraturan di masyarakat. Tapi poin dari tulisan ini bukanlah untuk menyebarkan ketakutan atas efek keteraturan yang bisa ditimbulkan dari masyarakat patuh hukum. Saya rasa semua orang mendambakan keteraturan. Mari buang sampah pada tempatnya, mari jangan menerobos lampu merah. Mari pahami hukum yang berlaku.

Tapi poin yang ingin saya utarakan adalah, bagaimana penegakan atas aturan – aturan yang berlaku itu terkadang sangat menyinggung rasa keadilan kita. Bagaimana aturan itu diterapkan secara parsial, tebang pilih, lahir dari motif pribadi berupa kekayaan materil, ataupun tidak konsisten, oleh sang penegak hukum. 

Bisakah kami minta aturan itu untuk ditegakkan secara benar sehingga kami semua merasa tenang mematuhinya? 

Bisakah kami diberi kejelasan dan bukannya hanya sekedar arahan memaksa untuk “kooperatif”? Damai di tempat, damai di surga, damai di kakus.

Anda merasakan setitik amarah? Bagus. Karena amarah lebih baik daripada keputusasaan atau pasrah. Karena dari amarah terkandung unsur harapan di dalamnya, harapan untuk perubahan. Amarah memberi energi untuk tindakan nyata.

Sunday 19 June 2011

Filosofi Sandal Jepit



Di gedung tempat saya bekerja tersedia satu musholla untuk tiap lantai. Masing-masing musholla menyediakan sandal-sandal jepit yang dapat dipakai untuk berwudhu.  Setiap hari Jumat, pria-pria yang memang diwajibkan secara agama untuk melaksanakan ibadah solat Jumat sering kali menggunakan sandal-sandal jepit yang tersedia tadi. Menempuh perjalanan dari kantor menuju masjid dengan menggunakan sandal jepit lebih menjadi pilihan ketimbang alas kaki yang lain termasuk sepatunya sendiri. Selain karena nyaman digunakan, perasaan khawatir akan raibnya sandal tersebut tidak menjadi masalah besar.  Namun, jumlah sandal jepit yang tersedia di lantai saya itu jumlahnya tidak sama dengan jumlah pria yang melaksanakan ibadah solat Jumat. Sehingga pada saat tiba waktunya bersegera ke masjid, tidak semua orang bisa mendapatkan sandal jepit. Terlebih juga karena memang mayoritas pria-pria tersebut tidak berinisiatif untuk membeli sandal sendiri. Menyadari hal ini sebagian pria-pria di lantai saya dengan sigapnya mengambil dan menyimpan sandal jepit yang masih tersisa jauh sebelum waktu berangkat ke masjid. Kalau berangkat ke masjid itu biasanya pukul 11 maka pada pukul 10 biasanya sandal-sandal jepit tersebut sudah tidak tersedia lagi. Bagi yang sigap mereka dapat menikmati rasanya menggunakan sandal jepit. Dan bagi yang kurang cepat, ya terpaksa menggunakan sepatu mereka sendiri atau alas kaki yang lain. Mungkin ada yang tanpa alas kaki juga. Saya tidak tahu. Entah mulai dari sejak kapan hal ini terasa menjadi cukup penting di setiap hari Jumat bagi sebagian pria di lantai saya.

Hidup itu adalah perjuangan. Atau kompetisi ya? Bedanya?

          Dari kejadian tersebut, tiba-tiba terlintas di pikiran saya mengenai realita kehidupan. Yang mana, semua orang berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam kasus sandal jepit, mereka berjuang untuk bisa mendapatkan jatah sandal jepit yang terbatas. Dan jika saya kembali lagi dari analogi sandal jepit, kesejahteraan yang bisa disediakan oleh pemerintah suatu negara itu terbatas. Lapangan kerja terbatas, subsidi BBM terbatas, subsidi pendidikan terbatas, Bantuan Langsung Tunai (BLT) terbatas, dan bahkan jumlah orang yang bisa ditampung oleh bus transjakarta juga terbatas!
Pada akhirnya ada orang yang harus mau menerima kenyataan hidup bahwa dirinya tidak mendapatkan jatah “sandal jepit”. Agar bisa sampai ke tujuan, dalam hal ini adalah masjid, maka perlu dipikirkan cara lain walaupun sandal jepit tidak tersedia. Kenyataan hidup ini tergambarkan secara jelas bahwa,pasti,akan ada orang yang tidak mendapatkan “sandal jepit”. Tidak cukup sandal jepit untuk semua orang yang ada. Tidak berangkat ke masjid tentunya bukanlah pilihan yang baik. Keputusan yang akan diambil pada umumnya adalah berangkat dengan menggunakan alas kaki yang lain atau tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Pilihan yang kedua mengandung resiko gagal sampai tujuan yang sangat tinggi sekali karena kaki kita terpapar pada bahaya yang mengancam keberlangsungan perjalanan kita sampai tujuan.
Pengamatan saya ini seharusnya membuat saya lebih berpikir keras untuk mencari alasan membeli sandal jepit sendiri. Memang betul sandal jepit punya saya itu bisa hilang. Tanpa pernah mempertimbangkan untuk membeli sandal jepit, saya akan selalu diliputi rasa khawatir menjadi yang tidak kebagian jatah sandal jepit. Saya akan selalu risau. Kenapa sih harus menunggu tersedia sandal jepit? Kenapa juga orang-orang yang seharusnya menyediakan sandal jepit itu tidak menyediakan lebih? Saya mau marah-marah deh sama siapapun yang membeli sandal-sandal jepit tadi. Entah siapa. Tapi, saya juga tidak mau beli sendiri. Entah kenapa.
Hari dibuatnya tulisan ini kebetulan hari Jumat, dan hari ini seperti biasa semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan sandal jepit. Dan, seperti biasa juga ada pihak-pihak yang tidak mendapatkan sandal jepit. Tapi adapula yang sudah beli dan merasakan manfaatnya. Bahagialah orang-orang ini. 

Lalu untuk saya sendiri?

Kebetulan, saya datang jam 7 dan langsung saja mengambil sepasang. Pilihan warnanya masih lengkap pula. Hidup ini keras untuk orang-orang yang tidak tepat waktu, begitu mungkin justifikasinya sehingga saya belum tersadarkan untuk membeli sendiri sandal jepit yang harganya tidak sampai 15 ribu. Tapi terpikirkan untuk membeli sendiri lho, asli deh. Walau masih sebatas niat, yang penting…….

Ps: terima kasih kepada YME atas penciptaan kata-kata “yang penting...”, yang memberikan pembenaran kepada saya  untuk tidak harus berbuat lebih jauh atau diluar comfort zone.

Monday 13 June 2011

My Action

Saya ini ndablek. Jadi maunya protes mulu tapi minus perbuatan. Jadi mulai besok saya akan coba lakukan  tiga hal kecil yang disarankan oleh kerabat saya. Hal ini dilakukan sebagai upaya membuat perubahan kecil yang mudah2an berpengaruh signifikan pada lingkungan sekitar saya. Tiga hal tersebut adalah: membuang sampah pada tempatnya, tidak melanggar lampu merah ketika berkendara, dan antri dengan tertib dimanapun saya diharuskan untuk antri di satu garis lurus supaya tertib. Kalaupun sampai ajal menjemput hanya tiga hal baik itu saja yang bisa saya lakukan dalam hidup ini then SO BE IT, setidaknya saya mencoba melakukan perubahan. Dan mengutip perkataan michael jackson pada lagu ini,




"everyman is guilty of all the good he didn't do" - voltaire

"Tidak Sabar" untuk Negeri

Tulisan ini bisa terwujud berkat rasa “Tidak Sabar” yang ada di dalam diri saya. Sifat itu memang menjadi bawaan lahiriah saya. Seandainya saya terlahir, atau setidaknya dibesarkan, menjadi orang yang lebih sabar, legowo, mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada.  Kalau anda adalah orang yang super sabar menjalani hidup ini maka sebaiknya tidak perlu meneruskan membaca tulisan ini. Insignifkan bagi anda. 
Ketika dihadapkan pada problematika kehidupan sehari – hari menjadi orang Indonesia yang tinggal di Indonesia, saya sering tidak sabar. Rasa ketidaksabaran itu lalu membuat saya mempertanyakan banyak hal. Berikut ini adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang sering saya  ajukan dan mungkin anda juga : “Mengapa jalanan di sekitar perumahan tempat saya tinggal masih saja berlubang padahal sudah sering di aspal? Apa karena saya kurang bayar pajak?”, “kenapa kalau musim hujan jalanan ibukota sering tergenang setinggi minimal 30 cm? dan ya itu bukan banjir, itu genangan air”, “kenapa Indonesia ga dipilih sebagai penyelenggara F1? Kan aspal sentul sama kayak aspal yang digunakan untuk nambel jalanan di sekitar rumah saya”, “kenapa tersangka korupsi di negara saya sering lari ke singapura? Padahal disini juga banyak pusat perbelanjaan yang menjual merek-merek kelas dunia”, “kenapa negara saya yang katanya kaya akan sumberdaya alam berupa angin dan udara, masyarakatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan?”, “kenapa semua orang setelah lulus kuliah dengan nilai luar biasa harus secepatnya jadi pegawai di perusahaan asing?”, “kenapa banyak orang yang lebih bangga jadi pegawai perusahaan asing daripada jadi pengusaha?”, “kenapa Indonesia tidak punya MRT?”, ”apa itu MRT?”, "kenapa di daerah saya sulit mendapatkan air bersih?", "kenapa orang-orang di kampung saya sering terlibat pertikaian antara sesama mereka?", "kenapa di negara ini sering banyak teror bom?", "kenapa banyak ormas-ormas yang sering main hakim sendiri?", "kenapa kalau ditilang harus damai? setahu saya damai itu berarti hati ini bahagia dan tentram tapi kenapa setiap abis damai yang ada malah dongkol?", "kenapa orang-orang suka buang sampah sembarangan?jadinya saya ikutan deh soalnya takut dibilang aneh kalau engga begitu", "kenapa banyak orang yang melanggar lampu merah? saya jadi pengen ikutan deh", "kenapa kalau di luar negeri orang malu buang ludah sembarangan di jalan? eh tapi kenapa juga nanya,wong saya juga begitu", "kenapa juga dulu kita dijajah belanda? coba kalau dijajah Inggris atau setidaknya afrika selatan deh yang sekarang sudah tergabung di kelompok negara-negara BRICS, pasti negara ini lebih maju sekarang", "kenapa saya minderan ya orangnya? maunya nunjuk orang lain mulu", "kenapa ya kalau jawab pertanyaan saya beraninya ramai-ramai? kenapa juga saya takut tunjuk tangan?".
Saya rasa sudah banyak artikel ataupun blog serupa yang membahas mengenai masalah-masalah diatas. Bahkan kita sudah sangat lelah dengan pembahasan demi pembahasan yang selalu berujung pada kesimpulan. Lalu, setelah kesimpulan apa? Kenapa belum ada perubahan? Anda seorang diri bisa apa? Sudahlah, tidak usah ngoyo, kalau menggunakan istilah kerabat-kerabat kita. Hapus status “Pengangguran” yang sebelumnya melekat pada diri anda, dapatkan pekerjaan dengan gaji yang bisa membiayai seluruh keluarga anda, lalu pasang kaca mata kuda. Kalau pun ada perasaan miris, dongkol, sedih, malu, kecewa itu bagian dari cobaan hidup. Hidup ini hanya sementara. Biarkan saja negara-negara tetangga ASEAN kita terbang menjauh dari kita, kehidupan kita aman kok. Semua baik-baik saja.
Saya sama dengan anda. Tidak berdaya. Hanya seseorang yang berpikir bahwa  dirinya merupakan bagian dari suatu kehidupan yang sangat besar dan tidak akan pernah ada setitik kemampuan untuk memengaruhi yang besar ini. Mengurus masalah pribadi sehari-hari saja sudah sulit. Untuk mengisi perut saja saya mesti pontang-panting. Boro-boro mikir perubahan negara. Kejauhan. Sudahlah terima saja nasib dilahirkan menjadi seorang Indonesia, yang baru kemarin negaranya dikalahkan oleh negara tetangga di final piala AFF yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno. Yang penting kita punya Bali. Saya punya mobil alphard. I am a big fish in a dirty pond. Bahagia. Selesai.

Sunday 12 June 2011

Memulai lagi dengan yang baru

Kali ini saya mencoba untuk mulai menulis kembali. Walau data yang tercantum menunjukkan tahun 2007, tapi waktu itu tanpa konsep yang jelas. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, kali ini akan seperti apa tulisannya? 
Sekarang akan lebih difokuskan pada keadaan lingkungan sekitar saya. Ingin banyak menulis tentang Indonesia. Tapi terus terang saya sendiri masih bingung mengenai konsep kewarganegaraan yang baik seperti apa. Mudah-mudahan modal nekat yang menjadi satu-satunya modal bagi saya bisa menghapuskan keragu-raguan yang merintangi. Bukan kritik atau makian yang ingin dihadirkan, hanya isi pikiran, opini dari seseorang yang ingin sekali melihat negaranya bisa menjadi penyelenggara F1, punya MRT (kereta listrik bawah tanah), memiliki pendapatan per kapita mencapai rata-rata negara Asia, jalanan depan rumah tidak bolong-bolong lagi, pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, airport yang bersih dan tidak terjadi kemacetan lalu lintas di sekitarnya, suatu hari nanti bisa menyelenggarakan piala dunia, dan masih banyak lagi keinginan-keinginan lainnya yang timbul akibat rasa iri ketika melihat negara-negara tetangga mulai terasa menjauh. Harapan yang sederhana, saya yakin anda setuju.