Sunday 19 June 2011

Filosofi Sandal Jepit



Di gedung tempat saya bekerja tersedia satu musholla untuk tiap lantai. Masing-masing musholla menyediakan sandal-sandal jepit yang dapat dipakai untuk berwudhu.  Setiap hari Jumat, pria-pria yang memang diwajibkan secara agama untuk melaksanakan ibadah solat Jumat sering kali menggunakan sandal-sandal jepit yang tersedia tadi. Menempuh perjalanan dari kantor menuju masjid dengan menggunakan sandal jepit lebih menjadi pilihan ketimbang alas kaki yang lain termasuk sepatunya sendiri. Selain karena nyaman digunakan, perasaan khawatir akan raibnya sandal tersebut tidak menjadi masalah besar.  Namun, jumlah sandal jepit yang tersedia di lantai saya itu jumlahnya tidak sama dengan jumlah pria yang melaksanakan ibadah solat Jumat. Sehingga pada saat tiba waktunya bersegera ke masjid, tidak semua orang bisa mendapatkan sandal jepit. Terlebih juga karena memang mayoritas pria-pria tersebut tidak berinisiatif untuk membeli sandal sendiri. Menyadari hal ini sebagian pria-pria di lantai saya dengan sigapnya mengambil dan menyimpan sandal jepit yang masih tersisa jauh sebelum waktu berangkat ke masjid. Kalau berangkat ke masjid itu biasanya pukul 11 maka pada pukul 10 biasanya sandal-sandal jepit tersebut sudah tidak tersedia lagi. Bagi yang sigap mereka dapat menikmati rasanya menggunakan sandal jepit. Dan bagi yang kurang cepat, ya terpaksa menggunakan sepatu mereka sendiri atau alas kaki yang lain. Mungkin ada yang tanpa alas kaki juga. Saya tidak tahu. Entah mulai dari sejak kapan hal ini terasa menjadi cukup penting di setiap hari Jumat bagi sebagian pria di lantai saya.

Hidup itu adalah perjuangan. Atau kompetisi ya? Bedanya?

          Dari kejadian tersebut, tiba-tiba terlintas di pikiran saya mengenai realita kehidupan. Yang mana, semua orang berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam kasus sandal jepit, mereka berjuang untuk bisa mendapatkan jatah sandal jepit yang terbatas. Dan jika saya kembali lagi dari analogi sandal jepit, kesejahteraan yang bisa disediakan oleh pemerintah suatu negara itu terbatas. Lapangan kerja terbatas, subsidi BBM terbatas, subsidi pendidikan terbatas, Bantuan Langsung Tunai (BLT) terbatas, dan bahkan jumlah orang yang bisa ditampung oleh bus transjakarta juga terbatas!
Pada akhirnya ada orang yang harus mau menerima kenyataan hidup bahwa dirinya tidak mendapatkan jatah “sandal jepit”. Agar bisa sampai ke tujuan, dalam hal ini adalah masjid, maka perlu dipikirkan cara lain walaupun sandal jepit tidak tersedia. Kenyataan hidup ini tergambarkan secara jelas bahwa,pasti,akan ada orang yang tidak mendapatkan “sandal jepit”. Tidak cukup sandal jepit untuk semua orang yang ada. Tidak berangkat ke masjid tentunya bukanlah pilihan yang baik. Keputusan yang akan diambil pada umumnya adalah berangkat dengan menggunakan alas kaki yang lain atau tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Pilihan yang kedua mengandung resiko gagal sampai tujuan yang sangat tinggi sekali karena kaki kita terpapar pada bahaya yang mengancam keberlangsungan perjalanan kita sampai tujuan.
Pengamatan saya ini seharusnya membuat saya lebih berpikir keras untuk mencari alasan membeli sandal jepit sendiri. Memang betul sandal jepit punya saya itu bisa hilang. Tanpa pernah mempertimbangkan untuk membeli sandal jepit, saya akan selalu diliputi rasa khawatir menjadi yang tidak kebagian jatah sandal jepit. Saya akan selalu risau. Kenapa sih harus menunggu tersedia sandal jepit? Kenapa juga orang-orang yang seharusnya menyediakan sandal jepit itu tidak menyediakan lebih? Saya mau marah-marah deh sama siapapun yang membeli sandal-sandal jepit tadi. Entah siapa. Tapi, saya juga tidak mau beli sendiri. Entah kenapa.
Hari dibuatnya tulisan ini kebetulan hari Jumat, dan hari ini seperti biasa semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan sandal jepit. Dan, seperti biasa juga ada pihak-pihak yang tidak mendapatkan sandal jepit. Tapi adapula yang sudah beli dan merasakan manfaatnya. Bahagialah orang-orang ini. 

Lalu untuk saya sendiri?

Kebetulan, saya datang jam 7 dan langsung saja mengambil sepasang. Pilihan warnanya masih lengkap pula. Hidup ini keras untuk orang-orang yang tidak tepat waktu, begitu mungkin justifikasinya sehingga saya belum tersadarkan untuk membeli sendiri sandal jepit yang harganya tidak sampai 15 ribu. Tapi terpikirkan untuk membeli sendiri lho, asli deh. Walau masih sebatas niat, yang penting…….

Ps: terima kasih kepada YME atas penciptaan kata-kata “yang penting...”, yang memberikan pembenaran kepada saya  untuk tidak harus berbuat lebih jauh atau diluar comfort zone.

No comments:

Post a Comment